Tiga Wujud Kebudayaan: Gagasan, Aktivitas, dan Artefak

Dalam konteks konsep J.J. Hoenigman, kebudayaan Jepang dapat dibedakan menjadi tiga aspek utama: gagasan (ide), aktivitas, dan artefak. Gagasan-gagasan seperti "wa" (keselarasan) atau yang berarti harmoni,
"omotenashi" (ramah tamah), mencerminkan nilai-nilai masyarakat Jepang.
Aktivitas tradisional seperti upacara teh, ikebana, dan kaligrafi (shodou), mencirikan kehidupan sehari-hari. Artefak melibatkan benda-benda seperti kimono, origami, dan teknologi canggih yang dihasilkan oleh masyarakat Jepang. Melalui pemahaman terhadap gagasan, aktivitas, dan artefak ini, kita dapat merinci dan menghargai kekayaan dan kompleksitas budaya Jepang, baik yang terlihat secara langsung maupun yang melekat dalam pola pikir dan perilaku sehari-hari.
Contoh dari teori ini dapat dilihat dari budaya pemberian hadiah menggunakan furoshiki (kain pembungkus) khas Jepang. Secara artefak, kuroshiki berbentuk kain dengan motif dan aneka warna.
Secara aktivitas (tindakan) yang berbentuk sikap saat memberikan hadiah dengan dibungkus furoshiki, adalah berupa kerendahan hati dan prinsip Okaeshi (imbalan) pada penerimanya. Mayoritas orang Jepang memiliki rasa tanggung jawab untuk mengembalikan pemberian orang lain. Hal ini dilandasi oleh sikap sungkan dll. Pada aktivitas memberikan hadiah dengan dibungkus furoshiki adalah ajaran Zen Buddhism yang memandu gaya hidup minimalis, berupa tidak hidup konsumtif atau boros dengan penggunaan barang (dalam hal ini, plastik/kado pembungkus bisa diganti dengan kain yang bisa digunakan untuk hal lain yang serupa). Misalnya menggunakan kembali kain furoshiki untuk membungkus bekal makanan (bentou) atau lainnya.