Filosofi Jalan Samurai

Filosofi jalan Samurai terkenal dengan namanya Prinsip Bushido. Bushido「武士道」secara harfiah artinya “Jalan Samurai” terdiri dari kata “Bushi” yang artinya Samurai dan “Do” yang berarti Jalan, adalah kode ksatria samurai atau kode etik yang dimiliki para samurai (prajurit perang) sebagai kaum ksatria Jepang pada Zaman Edo (1600-1868). Bushido sendiri merupakan penyatuan prinsip kesetiaan dan keberanian samurai berdasarkan sikap moral ajaran Konfusius yang menjadi pedoman moral bagi samurai, dengan bercampurkan ajaran Buddha beraliran Zen (Zen-Buddhism) dan Shinto yang sebelumnya sudah ada di Jepang. Zen mengajarkan “harmoni”, sedangkan Shinto menekankan kesetiaan kepada negara (kaisar atau penguasa).
Prinsip Bushido ini meskipun awalnya hanya diterapkan di kalangan samurai atau prajurit saja, namun semakin berjalannya waktu, Bushido diterapkan dalam segala aspek kehidupan termasuk berbagai lapisan masyarakat. Sebab Bushido adalah karakter budaya kerja asli Jepang yang membawa Jepang menjadi bangsa yang maju.
Nilai-nilai Bushido ada 7, di antaranya adalah:
1) “Gi” (儀), yakni pengambilan keputusan berdasarkan kebenaran. Walau mati dengan keputusan itu, setidaknya matilah dengan gagah (mati secara terhormat). Samurai sebagai kaum ksatria pada zaman feodalisme Jepang rela mempertaruhkan nyawa demi kemenangan. Jika gagal, dia akan melakukan seppuku (harakiri), yakni bunuh diri dengan memotong perut. Hal ini dinilai lebih bermartabat dibandingkan kalah di tangan musuh.
2) “Yu” (勇), yang artinya berani dan ksatria. Tak heran bila Jepang memiliki pasukan “Kamikaze” yaitu pasukan Jepang yang berani mati pada PD II silam.
3) “Jin” (仁), murah hati atau mencintai sesama dan memiliki rasa welas asih (kebajikan).
4) “Re” (礼), santun dan bertindak benar.
5) “Makoto” (誠) yang artinya bersikap tulus, tanpa pamrih.
6) “Meiyo” (名誉) adalah menjaga kehormatan, martabat, harga diri, dan kemuliaan.
7) “Chugi” ( 忠 義 ) berarti kesetiaan, mengabdi pada pemimpin dengan loyal (loyalitas).
Dengan demikian, Bushido mengajarkan tentang integritas sikap yang loyal dan santun. Walau pemberani, namun tak lupa akan kewajibannya sebagai manusia untuk saling melindungi dan mencintai sesama. Bushido dalam modern ini telah dijadikan pembelajaran pendidikan karakter.
Selain Bushido, terdapat filosofi lain yang mendukung sikap tersebut, di antaranya ajaran Buddha beraliran Zen atau Zen-Buddhism. Dalam Konsep Zen tentang Pikiran (2003), Kardono Setyorakhmadi dan Nusyirwan mengutip Alan W. Watts yang menyatakan dalam bukunya, The Way of Zen, bahwa Zen Buddhisme merupakan hasil perkawinan dari Buddhisme dan Taoisme (Watts, 1978: 64). Apapun ajaran-ajaran Zen, jika seseorang tercerahkan, itu murni berasal dari pikirannya sendiri. Diri kita sendirilah yang mencerahkan; Zen hanyalah menunjuk jalan.
Elemen penting dari Zen-Buddhism terdapat dalam namanya, karena Zen berarti “meditasi. ” Zen mengajarkan bahwa pencerahan dicapai melalui kesadaran mendalam bahwa seseorang sudah menjadi makhluk yang tercerahkan. Namun bagaimanapun juga, hal tersebut adalah hasil dari usahanya sendiri. Para dewa dan kitab suci hanya dapat memberikan bantuan terbatas. Zen berasal dari India, namun diresmikan di Tiongkok. Chan, seperti yang dikenal di Tiongkok, ditularkan ke Jepang dan berakar di sana pada abad ke-13. Chan diterima dengan antusias di Jepang, terutama oleh kelas samurai yang memegang kekuasaan politik saat itu. Penekanan Zen-Buddhism adalah pada kesederhanaan dan pentingnya alam menghasilkan estetika yang khas, yang diungkapkan dengan istilah wabi sabi. Kedua konsep ini digunakan untuk mengekspresikan rasa pedesaan, melankolis, kesepian, kealamian, dan usia, sehingga toples petani yang rusak dan usang dianggap lebih indah daripada hidangan murni yang dibuat dengan cermat. Kepekaan artistik ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap kebudayaan Jepang hingga zaman modern.
Disadur dari buku "Kompetensi Komunikasi Interkultural Bahasa Jepang" (Rn)